Jumat, 10 Februari 2017

Kegalauan Sarjana Pendidikan

Aku menulis ini ketika petang menjelang. Belakangan, petang menjelma sebuah waktu untuk merefleksikan diri. Tak banyak pekerjaan yang kulakukan saban hari. Hariku hanya itu itu saja. Dua hari disibukkan pekerjaan (itupun dimulai dari siang sampai petang) dan sisanya aku habiskan di rumah. Dari tujuh hari dalam seminggu yang aku punya, hanya dua hari itu saja aku beraktivitas di luaran rumah, lima hari sisanya aku bersemedi di rumah. Jangan tanya soal bosan dan kawan kawannya. Semenjak diwisuda Oktober tahun kemarin, aku berakrab dengan mereka. Gelar sarjana pendidikan yang aku sandang membuatku tak bisa memilih banyak pekerjaan. Lazimnya kan emang sarjana pendidikan bergelut di dunia pendidikan; menjadi seorang guru di sekolah. Berhubung aku seorang sarjana, aku pun menginginkan hal serupa; bekerja di sekolah sebagai seorang guru. Namun nyatanya, di lapangan, susah sekali menemukan lowongan guru yang sesuai dengan jurusan waktu kuliah dulu. Ya, macam aku ini. Aku ini lulusan pendidikan bahasa Inggris, namun ketika melamar ke sekolah, terkadang bukan guru bahasa Inggris yang dibutuhkan. Kadangkala guru bahasa Sunda atau guru kesenian yang ditawarkan padaku. Seharusnya aku bisa saja mengambil tawaran kesempatan itu, namun itu bukan bidang yang aku tekuni selama 4 tahun kuliah dulu. Memang aku ini berasal dari Sunda, sudah pasti bisa berbahasa Sunda pun perihal kesenian sedikit banyak aku paham, namun bukankah aku bukan ahli dikedua bidang itu? Pikiranku berkata bahwa aku tak akan mampu memberikan yang terbaik bagi murid muridku kelak, jadi lebih baik aku mencari lowongan guru yang sebidang dengan jurusan waktu aku kuliah dulu. Sulit memang, namun aku ingin seperti itu. Karena menjadi seorang guru bukan perkara main main yang bisa dikerjakan dengan bidang ilmu yang cuma setengah setengah. Lah wong kadang yang udah kuliah dibidangnya aja kalo ngajar suka ada salah dan lupanya kan? Apalagi yang ngga sebidang kan? Yaa, ini sih prinsip aku, terserah kalian mau sejalan atau tidak.

Menjadi seorang sarjana pendidikan nyatanya dipenuhi oleh banyak dilema. Dilema yang pertama telah rampung aku jelaskan diawal tadi. Kini, kita beranjak ke dilema yang kedua. Ya, soal gaji yang diterima seorang guru honorer. Bekerja di sekolah, mengabdikan diri demi terciptanya penerus bangsa yang cerdas atau bekerja dikantor yang punya cubicle sendiri dan ruangan berAC. Memang semua orang juga tahu bahwa gaji seorang guru honorer itu tidak cukup besar. Untuk sekedar kebutuhan pribadi saja masih kurang. Rasa rasanya, semua pengorbanan sewaktu kuliah dulu tak sebanding dengan apa yang didapat. Dari sinilah dilema tersebut muncul. Bekerja dikantoran yang berAC dan memiliki cubicle sendiri tentu menjanjikan materi yang menjamin walau akhirnya gelar sarjana pendidikan seolah tak terpakai. Disitulah hati dipenuhi dilema.

Ah, memang menjadi seorang guru bukanlah pekerjaan yang tepat untuk mengumpulkan pundi pundi rupiah. Silahkan saja jadi dokter atau pengusaha kalau ingin materi yang berlimpah. Karena guru ya memang seperti ini; banyak sabarnya. Entah sabar karena gaji yang sedikit dan kadang dirapel, atau sabar ngadepin siswa yang macem macem waktaknya. Walaupun demikian, menjadi guru itu punya investasi yang menjanjikan karena ilmu yang bermanfaat itu pahalanya ngga akan pernah putus walau kita udah ngga ada di bumi.

Sekian.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar