Deskriminasi
tidak hanya berlangsung dalam lingkungan bermasyarakat saja. Namun, dalam
perkuliahan juga berlaku hal senada. Deskiriminasi itu tidak enak bahkan
menyebalkan.
Rabu yang
cerah di pertengahan Maret menjadi saksi bisu akan peristiwa yang menyesakkan
hati. Siang itu, saya dan beberapa teman saya yang masih semester 4 mengambil
mata kuliah semster 6. Hal ini kami lakukan karena IP kami mencukupi untuk
mengambil mata kuliah semester atas.
Berada di
kelas yang sebenarnya bukan kelas kita memang sesuatu hal yang asing bahkan
ganjil. Tapi, apa mau dikata? Ini resiko mengambil mata kuliah semester atas. Dan
pengalaman yang amat sangat tidak mengenakkan.
Siang tadi,
saat acara diskusi antara kelompok dimulai dan tibalah saat pembagian paper
pada tiap-tiap kelompok. Sayangnya, paper tidak difotokopi sesuai jumlah
kelompok, hanya disediakan satu paper per kelompok yang anggotanya mencapai 6
orang. Anggota tersebut terdiri dari dua orang semester 4 dan sisanya semester
6. Menyedihkannya, paper tersebut hanya berada dibawah tangan sang kakak
tingkat. Jikalau hendak membaca, kami harus bersuara dulu. Kakak tingkat
tersebut tidak secara ramah menawarkan berbagi paper. Menyesakkan bukan?
Sebenarnya kami hanya ingin perlakuan ramah dari kakak-kakak tingkat tersebut. Sekedar
menawarkan atau menyuruh kami yang hanya berdua untuk duduk lebih dekat dengan
mereka. Bukan, kami bukannya tidak berinisitaif untuk melakukan semua jenis
perbuatan yang telah kami sebutkan tadi, tapi kami terlalu sering seperti itu
sampai kami malu melakukannya keseringan. Entahlah, mungkin memang komunikasi
diantara kami tidak berjalan baik. Tapi, aura pendeskriminasian itu selalu
terasa.
Lazimnya orang
yang membagikan paper pada tiap-tiap kelompok akan memberikan paper tersebut
kepada orang yang terdekat posisinya dengan orang tersebut. Tapi tidak di kelas
ini. Di sini, kami, para mahasiswa semester empat seakan-akan tidak
diperbolehkan memegang paper tersebut. Mungkin mereka berpikir kami tidak akan
membaginya dengan anggota kelompok yang lain. Padahal itu salah besar. Kami akan
suka rela berbagi dengan semua anggota kelompok. Dan dengan diberikannya paper
tersebut kepada kami, kami merasa bahwa kami dianggap ada. Bagaimana tidak? Posisi
duduk saya saat itu lebih dekat dengan sang pembagi paper, tapi apa yang
kemudian terjadi? Sang pembagi paper tersebut memilih untuk memberikan
fotokopian papernya pada teman sesama angkatannya. Yah, dianggap tidak ada
padahal ada itu sungguh menyesakkan.
tulisan
ini saya buat untuk menjadi cermin bagi saya sendiri dan orang-orang lain. Pengabaian
itu sungguh menyakitkan hati. Dan yah, semuanya harus berawal dari kita untuk
memulai perubahan J
Tidak ada komentar:
Posting Komentar