Minggu, 23 Februari 2014

Urgensi Merevisi Sistem Pendidikan di Negara Tercinta Kita

            Pendidikan merupakan roda penggerak kemajuan suatu negara. Semakin maju pendidikannya maka semakin maju pula negara tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan laksana sebuah mantra ajaib yang dengannya dapat merubah apapun. Betapa digdayanya pendidikan bagi kelangsungan hidup warga negara dan negaranya.
            Pendidikan begitu sangat digdaya dalam suatu negara karena pendidikan merupakan salah satu sarana untuk mendapatkan pengetahuan yang kelak menjadi bekal dalam mengarungi kehidupan di tengah masyarakat. Pendidikanlah yang turut serta dalam menciptakan masyarakat. Pendidikan akan mencetak manusia yang berkualitas baik dari segi spiritual, intelegensi dan skill. Selain itu pendidikan juga merupakan proses mencetak generasi penerus bangsa.

            Pendidikan suatu negara dilaksanakan dalam sebuah sistem. Sistem yang berkaitan dengan pendidikan disebut sistem pendidikan. Sistem pendidikan adalah suatu strategi atau cara yang akan dipakai untuk melakukan proses belajar mengajar untuk mencapai tujuan agar para pelajar dapat secara aktif mengembangkan potensi mereka.
            Sistem pendidikan sangat berkorelasi dengan pendidikan di suatu negara. Semakin mutakhir, canggih dan apik suatu sistem pendidikan di sebuah negara, maka semakin bagus pula mutu pendidikan di negara tersebut. Selain itu, sistem pendidikan yang apik dapat pula menghasilkan manusia yang berkualitas baik dari segi spiritual, intelegensi dan skill.
            Setiap negara mendambakan semua warga negaranya memiliki kualitas baik dari segi spiritual, intelegensi maupun skill. Seyogianya, warga negara yang telah mengenyam pendidikan dapat berindikasi seperti yang didambakan oleh negara. Namun, terkadang terdapat beberapa hal yang tidak relevan dengan angan-angan suatu negara.
            Sistem pendidikan merupakan penanggung jawab bagi tingginya mutu pendidikan di suatu negara. Selain itu, sistem pendidikan yang digunakan oleh suatu negara sangat bepengaruh pada negara tersebut. Hal ini terjadi karena mutu pendidikan yang bagus dapat tercipta dari sistem pendidikan yang bagus pula.
            Warga negara yang berindikasi sebagai manusia yang telah mengenyam pendidikan seyogianya memanifestasikan pendidikan tersebut dalam kehidupan mereka. Seperti yang telah diulas di atas bahwa manusia yang berpendidikan memiliki kualitas yang baik dalam segi spiritual, intelegensi dan skill. Maksud dari pernyataan ini adalah manusia yang berpendidikan tidak akan mungkin mengakibatkan masalah atau konflik sosial dalam tatanan kemasyarakatan dan negaranya. Manusia yang berpendidikan akan menghargai perbedaan diantara sesamanya dan menjunjung tinggi sikap demokrasi. Selayaknya, konflik dan permasalahan sosial tidak menjamur di negara yang memiliki mutu pendidikan tinggi. Pendidikan dapat terselenggara dalam sebuah sistem pendidikan. Jadi pendidikan yang baik akan menghasilkan calon masyarakat yang baik serta pendidikan yang kurang baik tentu akan menghasilkan masyarakat yang kurang baik pula. Baik buruknya, berhasil tidaknya suatu pendidikan bergantung pada sistem pendidikan yang dijalankan oleh suatu negara. Oleh karenanya, sistem pendidikan sangat berperan penting dalam mencetak generasi penerus bangsa.  
            Harian The Jakarta Post pada tanggal 22 Oktober 2011 silam, menerbitkan sebuah artikel dalam kolom opininya yang bertajuk “Classroom Discourse to Foster Religious Harmony”. Artikel tersebut merupakan buah karya dari seorang Profesor Universitas Pendidikan Indonesia yang bernama Prof. A. Chaedar Alwasilah. Profesor Universitas Indonesia tersebut mengatakan di awal artikelnya bahwa kualitas suatu bangsa dapat dilihat dari sistem pendidikan yang dipraktekkan oleh negara tersebut.
             Artikel yang ditulis oleh Prof. Chaedar yang bertajuk “Classroom Discourse to Foster Religious Harmony” mengangkat tentang konflik dan masalah sosial yang belakangan ini sering terjadi di Indonesia, negara tercinta kita. Prof. Chaedar Alwasilah mengatakan bahwa terjadinya konflik dan masalah sosial tersebut karena gagalnya sistem pendidikan yang digunakan oleh negara kita. Indonesia, dalam sistem pendidikannya tidak membekali siswa dengan keterampilan dasar untuk mengembangkan kehidupan sebagai individu, anggota masyarakat dan warga negara. Prof. Chaedar juga mengatakan dalam artikelnya bahwa konflik sosial dan ketidak harmonisan antara umat beragama yang sering terjadi di masyarakat merupakan tantangan bagi pendidik dalam melakukan yang terbaik demi mempersiapkan generasi penerus bangsa yang demokratis dengan karakter yang baik sesuai dengan UU Sisdiknas.  
            Selain itu, Prof. Chaedar juga mengatakan bahwa pendidikan jangan hanya mengembangkan penalaran ilmiah saja, tetapi juga harus mengembangkan wacana sipil positif. Penalaran ilmiah sangat diperlukan dalam mengembangkan warga intelektual, sedangkan kompetensi wacana sipil sangat penting untuk menciptakan warga negara beradab. Hal ini senada dengan studi yang dilakukan oleh Aprilliaswati (2011) terhadap anak kelas empat di sebuah Sekolah Dasar di Pontianak, kota dimana bentrokan antar entnis sering terjadi.
            Oleh sebab itu, Prof. Chaedar menyarankan agar sistem pendidikan di Indonesia melaksanakan interaksi sebaya sebagai salah satu kegiatan rutin di kelas. Dalam kegiatan ini siswa diberi kesempatan untuk berinteraksi dengan satu sama lainnya melalui tugas-tugas kelompok untuk berlatih mendengarkan dengan penuh perhatian, berdebat secara sopan dan mempersiapkan mereka untuk hidup sebagai anggota fungsional dari susunan masyarakat yang demokratis. Dengan kata lain, dalam artikenya yang bertajuk “Classroom Discourse to Foster Religious Harmony” Prof. Chaedar menyarankan agar sikap-sikap demokrasi ditanamkan sejak sedini mungkin melalui sistem pendidikan di Indonesia. Pendidikan yang wajib di negara tercinta kita dimulai dari tingkat Sekolah Dasar. Oleh karena itu, di sekolah-sekolah dasar sudah harus ditanamkan prinsip-prinsip demokrasi dan mempraktekkannya dalam kegiatan pembelajaran di kelas, salah satunya tugas kelompok.
            Di akhir artikelnya, Prof. Chaedar Alwasilah mengatakan sebagai bangsa Indonesia yang memiliki banyak perbedaan, selayaknya pendidikan liberal di negara tercinta kita harus mencakup pengetahuan etnis, agama dan minoritas bahasa dan budaya. Dengan demikian dapat didefinisikan bahwa pendidikan liberal bertujuan membebaskan siswa dari sikap rabun terhadap orang lain. Pada dasarnya, ini merupakan penempaan kamil insan, yaitu orang yang ideal yang memenuhi kriteria untuk mengasumsikan setiap pekerjaan atau petunjuk sebagai warga negara yang demokratis.
Kemajuan suatu negara tercermin dari kualitas pendidikan di negara tersebut. Negara maju seperti Jepang memiliki sistem pendidikan yang berkualiatas maka tak heran negara matahari terbit tersebut sekarang berada sederetan dengan Amerika Serikat. Padahal kita tahu dan hafal betul bahwa beberapa hari sebelum Indonesia merdeka, Jepang diluluh-lantahkan karena serangan bom atom yang dijatuhkan di kota Nagasaki dan Hiroshima oleh tentara sekutu pada akhir perang dunia kedua. Namun, dari rentang waktu yang tidak jauh berbeda dengan negara Indonesia yang saat itu memulai debutnya sebagai negara merdeka, Jepang berhasil lebih unggul dari Indonesia. Bahkan meninggalkan Indonesia jauh dibelakangnya. Negara matahari tersebut berhasil bangun dari keterpurukkannya dan membangun kembali negaranya. Hal yang melatarbelakangi pesatnya kemajuan Jepang adalah pendidikannya. Negara matahari tersebut sangat mengagungkan pendidikan. Oleh karenanya, tak mengherankan jika saat ini negara matahari terbit tersebut sekarang berada di peringkat keempat teratas mutu pendidikan.
Pendidikan di Indonesia masih belum berhasil menciptakan manusia yang berkualitas baik dari segi spiritual, intelegensi dan skill apalagi sampai taraf meningkatkan kualitas bangsa. Krisis moral yang dialami negara tercinta kita diyakini banyak kalangan akibat gagalnya sistem pendidikan yang digunakan. Selain itu, indeks pembangunan manusia (IPM) atau Human Development Index (HDI) yang merosot tidak terlepas dari rendahnya mutu pendidikan di negara tercinta kita, Indonesia.
Data UNDP tahun 200 tentang Human Development Report atau Human Development Indeks menunjukkan dari 174 negara, Indonesia menempati posisi yang memprihatinkan. Negara tercinta kita berada pada posisi ke-109, hanya satu tingkat di atas Vietnam. Sementara Malaysia berada pada posisi ke-56, Brunai diposisi ke-25 dan Singapura berada diperingkat ke-22. Dengan kata lain, semua negara ASEAN berada pada kisaran angka ke-100, kecuali negara kita yang tercinta ini. Hanya Jepang yang mampu berada diposisi empat besar. Perolehan klasemen tersebut merupakan bukti dari rendahnya mutu pendidikan di Indonesia.
Pendidikan merupakan sarana strategis untuk meningkatkan kualitas bangsa. Kemajuan beberapa negara di kancah dunia tidak terlepas dari kemajuan yang dimulai memalui pendidikannya. Negara tercinta kita, Indonesia, juga menyakini pernyataan tersebut. Namun pada kenyataannya, sistem pendidikan di negara tercinta kita belum menunjukkan keberhasilan yang diharapkan. Sistem pendidikan di Indonesia masih belum mampu menghasilkan manusia yang berpendidikan tinggi. Oleh sebab itu, benar apa yang dikatakan oleh Prof. Chaedar dalam artikelnya yang dimuat dalam harian The Jakarta Post yang bertajuk “Classroom Discourse to Foster Religious Harmony” bahwa sistem pendidikan Indonesia memang gagal menghasilkan manusia-manusia penerus bangsa yang memiliki kualitas yang baik dari segi spriritual, intelegensi dan skill serta  beradab.
Konflik dan permasalahan sosial yang kerap terjadi di lingkungan masyarakat merupakan indikasi dari gagalnya sistem pendidikan di Indonesia. Dikatakan sistem pendidikannya gagal karena tidak mampu mencetak manusia yang berkualitas baik dari segi moral atau budi pekerti atau adab. Pendidikan yang bermutu tinggi selayaknya mencetak siswa yang merupakan calon anggota masyarakat dengan moral yang baik dan beradab, salah satunya adalah menghargai pendapat orang lain atau menghargai perbedaan. Dengan ditanamkannya pemahaman dan pengertian pada siswa sejak usia dini tentu akan membuatnya paham di kemudian hari bahwa perbedaan adalah hal wajar dalam kehidupan. Setiap manusia pasti memiliki keunikan tersendiri dari dirinya.
Sistem pendidikan Indonesia ternyata masih kurang memperhatikan aspek moral atau budi pekerti dalam pembelajaran. Sistem pendidikan kita lebih berorientasi pada ranah kognitif. Telah lama memang negara tercinta kita mengorientasikan tujuannya pada ranah kognitif dan membiarkan ranah afektif untuk tidak diupayakan aplikasinya. Kebanyakan dari kita beranggapan bahwa jika aspek kognitif dikembangkan secara benar, maka aspek afektif akan ikut berkembang secara postif. Hal ini merupakan kesalahan asumsi yang sangat serius.
Pengabaian ranah afektif merugikan perkembangan peserta didik baik secara individu maupun masyarakat secara keseluruhan. Tendensi yang ada adalah bahwa peserta didik tahu banyak tentang sesuatu, namun mereka kurang memiliki sikap mental, minat, moral dan juga apresiasi (afektif) dalam bentuk perilaku keseharian sebagai buah dari pengetahuan yang dimilikinya.
Sistem pendidikan yang berorientasi pada ranah kognitif ternyata menghasilkan dua produk. Pertama, pembunuhan kreatifitas berpikir dan berkarya serta hanya menciptakan pekerja. Kurikulum dalam sistem pendidikan Indonesia sangat membuat peserta didik menjadi pintar namun tidak cerdas. Sistem pendidikan nasional yang telah berlangsung hingga saat kini masih cenderung mengeksploitasi pemikiran peserta didik. Hal ini menyesatkan paradigma pendidik yang menurut John Dewey pendidikan adalah untuk hidup bukan untuk bekerja. Selain itu, Ki Hajar Dewan mengatakan bahwa pendidikan berfungsi untuk memanusiakan kembali manusia yang mengalami dehumanisasi. Sehingga, semestinya sistem pendidikan di negara tercinta kita juga berorientasi pada ranah afektif.  
Produk kedua dari reaktan sistem pendidikan yang terlalu berorientasi pada ranah kognitif ialah pengesampingan ranah afektif (merasa) sehingga peserta didik hanya tercetak sebagai generasi-generasi yang pintar tapi tidak memiliki karakteristik yang dibutuhkan oleh bangsa kita ini.
Menjamurnya permasalahan dan konflik sosial yang muncul di negara tercinta kita merupakan salah satu akibat dari diterapkannya sistem pendidikan yang hanya berorientasi pada ranah kognitif. Sebut saja tawuran antara pelajar dan konflik berlatar belakang SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar golongan) di negara tercinta kita. Berikut akan dipaparkan beberpa konflik dan masalah sosial yang kerap terjadi di negara tercinta kita, Indonesia.
Permasalahan sosial yang pertama adalah tawuran antara pelajar yang semakin marak di negara yang kondang dengan keramahan dan kesopanannya ini. Hantu bernama tawuran tersebut telah merasuki siswa-siswa sekolah. Hantu bernama tawuran tersebut juga bertandang bukan hanya pada pelajar Sekolah Menengah Atas saja namun juga pelajar Sekolah Menengah Pertama tak luput dari hasutannya. Harian Tempo menyebutkan bahwa Komisi Nasional Anak (Komnas Anak) mencatat ada 299 kasus tawuran pelajar sepanjang Januari sampai Oktober 2013. Dalam 299 kasus kekerasan antar pelajar SMP dan SMA itu menelan 19 korban jiwa. Tawuran antar pelajar menjadi potret buram dunia pendidikan Indonesia.
Permasalahan yang kedua adalah seringnya terjadi perselisihan yang dilatar belakangi SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar golongan). Indonesia memang terkenal dengan keragaman etnis, bahasa dan budaya serta agamanya. Namun, Indonesia pun cukup terkenal dengan konflik sosial yang terjadi akibat dilatar belakangi perbedaan-perbedaan yang dimilikinya. Misalnya saja konflik Sampit yang terjadi 2001 silam yang dilatarbelakangi perbedaan suku. Selain itu masih ada beberapa konflik, seperti konflik Ambon (1999-2000), Poso (1998-2001), serta baru-baru ini ada kasus Sampang, Madura dan Lampung selatan pada tahun 2012.
Kasus-kasus diatas merupakan indikasi dari sistem pembelajaran negara tercinta kita, Indonesia, yang masih berorientasikan ranah kognitif. Pada kasus pertama, tawuran, para pelajar sebenarnya adalah anak-anak yang cerdas secara kognitif tetapi tidak secara afektifnya (moral). Para pelajar yang terlibat tawuran tentu bukan siswa yang beradab atau berbudi pekerti luhur. Hal ini mengindikasikan bahwa memang sistem pendidikan di negara tercinta kita perlu mengadakan revisi. Kasus yang kedua, konflik sosial yang terjadi di masyarakat ternyata merupakan kurangnya pemupukkan akan sikap-sikap demokrasi pada peserta didik sejak sedini mungkin. Sikap-sikap demokrasi dapat terangkum dalam wacana sipil. Oleh karenanya, sistem pendidikan di Indonesia seyogianya menambahkan dua aspek di dalamnya, ranah afektif dan wacana sosial. Hal ini senada dengan yang disampaikan oleh Prof. Chaedar bahwa seharusnya sistem pendidikan disamping berorientasi pada ranah kognitif (dalam artikelnya Prof.Chaedar menyebutnya dengan penalaran ilmiah) juga harus memuat wacana sipil di dalamnya. Wacana sipil sendiri dapat terangkum dalam ranah afektif.
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Berdasarkan pengertian pendidikan diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa pendidikan bukan hanya sekedar mencerdaskan peserta didik (ranah kognitif), tetapi juga mendidiknya agar menjadi manusia yang memiliki akhlak yang mulia (ranah afektif) dan pendidikan pula harus membekali peserta didik dengan keterampilan untuk melangsungkan kehidupannya di masyarakat.
Sistem pendidikan di negara tercinta kita ternyata perlu menambahkan wacana sipil seperti yang dikatakan oleh Prof. Chaedar dalam artikelnya yang dimuat pada 22 Oktober 2011 silam. Mendengarkan penuh perhatian, menyumbangkan ide-ide atau pendapat, mengajukan pertanyaan, menyatakan kesepakatan dan ketidak sepakatan serta mencapai kompromi dengan cara hormat merupakan indikator dari wacana sipil. Dalam wacana sipil tersebut, peserta didik dilatih agar menghargai perbedaan yang dimiliki oleh setiap peserta didik. Serta selayaknya wacana sipil seperti ini ditanamkan pada peserta didik sejak sedini mungkin, layaknya penanaman ranah kognitif dalam proses pembelajaran.
Indikator-indikator wacana sipil perlu diberikan kepada peserta didik untuk menjadi bekal ketika menjadi anggota masyarakat. Ranah kognitif yang diberikan di sekolah tidak memberikan bekal yang cukup ketika peserta didik menjadi anggota masyarakat. Dalam lingkungan masyarakat, wacana sipil lebih relevan dengan kehidupan bermasyarakat. Hal ini karena dalam lingkungan masyarakat, pengetahuan ilmiah tidak begitu penting. Wacana sipil-lah yang memiliki peran penting dalam kehidupan bermasyarakat karena dari situlah peserta didik diajarkan prinsip dasar bahwa setiap manusia berbeda-berbeda.  
Sistem pendidikan formal memang memegang peran penting dalam pembentukkan karakter peserta didik. Namun, hal ini tidak menutup kemungkinan ada jenis pendidikan lain yang dapat mempengaruhi karakteristik peserta didik tersebut.
Pendidikan dapat terjadi dimana saja. Bukan hanya terbatas pada lingkungan persekolahan maupun perkuliahan. Pendidikan merupakan kegiatan belajar yang terus berlangsung selama seseorang hidup. Kita mengenal tiga jenis pendidikan di Indonesia yaitu pendidikan formal, informal serta non formal. Mengenai sistem pendidikan yang telah panjang lebar diuraikan di atas tadi merupakan ranah pendidikan formal.
Karakter peserta didik yang berakhlak mulia sebenarnya tercipta juga melalui pendidikan informal. Pendidikan informal adalah pendidikan yang diselenggrakan dalam lingkungan keluarga. Keluarga merupakan unit terkecil dari suatu masyarakat dan merupakan pranta sosial. Peserta didik sebelum memasuki pendidikan formal tentu akan didik terlebih dahulu dalam pendidikan informal. Hal ini sesuai dengan yang diyakini oleh umat muslim bahwa ibu adalah madrasah pertama bagi anak-anaknya. Oleh sebab itu, bukan hanya intalasi pendidikan formal saja yang ikut serta dalam menciptakan generasi penerus bangsa yang berkualiatas dari berbagai aspek dan menjunjung tinggi wacana sipil namun pendidikan informal juga harus ambil bagian.
Artikel bertajuk “Classroom Discourse to Foster Religious Harmony” mengatakan bahwa ketidak harmonisan agama merupakan tantangan bagi pendidik dalam melakukan yang terbaik untuk mempersiapkan generasi penerus bangsa yang sesuai dengan UU Sisdiknas. Menurut paham penulis, pendidik dalam pernyataan di atas bukan hanya ditujukan pada pendidik dalam lingkungan pendidikan formal saja, akan tetapi pendidik dalam lingkungan informal pun turut serta dalam upaya melakukan persiapan peserta didik untuk menjadi penerus bangsa yang sesuai dengan UU Sisdiknas.
Sebenarnya, peran serta pendidikan informal dinilai jauh lebih banyak dalam mencetak generasi penerus bangsa yang berkualitas dari segi spiritual, intelegensi dan skill. Hal ini karena peserta didik meluangkan waktu lebih banyak di lingkungan pendidikan informal (keluarga dan masyarakat). Peran serta pendidikan formal hanya sebagian kecil saja. Yakni saat peserta didik melaksanakan proses pembelajaran di sekolah.
Pendidikan merupakan hal yang paling krusial dalam tatanan kehidupan manusia. Pendidikan mengandung makna yang sangat kompleks dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas. Selain mencetak manusia yang intelektual, pendidikan juga mencetak manusia yang berakhlak mulia dan melengkapi manusia dengan keterampilan yang akan dikembangkan dalam kehidupan bermasyarakat. Oleh karenanya, masyarakat yang berkualiatas tercipta dari sistem pendidikan yang berkualitas pula.
Pendidikan yang berkualitas baik akan diperoleh dari sistem pendidikan yang berkualitas pula. Sistem pendidikan yang menghasilkan manusia-manusia berpendidikan yang berkulaitas tinggi tidak hanya berorientasi pada satu ranah saja, yaitu kognitif. Namun berorientasi pula pada ranah afektifnya. Dalam ranah afektif tersebutlah terselip wacana sipil yang sangat berguna dalam kehidupan bermasyarakat kelak. Wacana sipil hendaknya ditanamkan pada setiap individu sejak sedini mungkin. Penanaman wacana sipil bukan hanya dilakukan di lingkungan pendidikan formal, akan tetapi dalam lingkungan informal juga. Kedua lingkungan pendidikan tersebut berperan serta dalam pembentukkan manusia yang berkualitas baik dalam segi spiritual, inetegensi dan skill.
Sistem pendidikan yang baik akan berjalan lancar dan menghasilkan output (masyarakat) yang baik pula. Semakin maju suatu negara biasanya semakin canggih, mutakhir dan apik pula sistem pendidikannya. Hal ini karena pendidikan yang baik tercipta dari sistem pendidikan yang baik pula. Sedangkan pendidikan sendiri merupakan motor penggerak kemajuan sebuah bangsa. Dengan kata lain, sistem pendidikan suatu bangsa menentukan kualitas pendidikan bangsa tersebut. Oleh karenanya, apabila Indonesia hendak mengejar ketertinggalannya dalam debut internasional hendaklah merevisi sistem pendidikannya terlebih dahulu. Baik sistem pendidikan dalam pendidikan formal maupun pendidikan informal. 



Referensi:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar